niadi.net - Memahami Caligula, artinya memahami Albert Camus. Bagaimana Camus bisa menciptakan Caligula yang demikian gila dan keji. Benarkah itu bentuk kegilaan dan kekejian? Atau hanya sebuah sikap logis dengan kejujuran paling sederhana yang dilakukan oleh seseorang dengan kekuasaan tertinggi pada sebuah negeri.
Pencapaian tentang pemahaman kebahagiaan manusia yang disadari oleh Caligula dalam pernyataannya yang terkenal, bahwa manusia mati dan tidak berbahagia, tentulah lahir dari kesadaran seorang Camus.
Caligula yang ditampilkan oleh Camus dalam naskah yang ditulisnya pada tahun 1938, adalah sosok pemimpin dengan kekecewaan mendalam pada kehidupan yang dilihat dan dijalaninya. Kekecewaan itu kemudian melahirkan pandangan logisnya terhadap kehidupan sehingga ia menolak semua nilai moril di dalam kehidupan.
Caligula terobsesi pada hal-hal yang mustahil, ia melawan semua keterikatan yang membatasi dirinya sebagai manusia dan menyebutnya sebagai kebenaran. Dalam pengantar pengarang yang ditulis Albert Camus pada tahun 1957 untuk Caligula, The Misunderstanding, The Just Assassins, Camus menulis bahwa naskah Caligula seharusnya dinilai sebagai sebuah tragedi kecerdasan, bukan secara filosofis. Melalui Caligula, Camus ingin menggambarkan kehancuran yang disebabkan oleh sebuah obsesi pada sesuatu yang mustahil sekaligus kegagalannya.
Caligula, yang sebelumnya adalah pemimpin yang baik, dalam kemudaannya kehilangan orang yang paling dicintainya. Kehilangan yang mendatangkan kekecewaan dan duka mendalam. Duka yang kemudian dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya. Manusia dengan duka seperti itu, akan menarik diri dari kehidupan selama beberapa saat dan kembali dengan sesuatu yang baru atau berbeda, pada perilaku dan pemikirannya. Ini adalah tiga hari kepergian Caligula, menghilang tanpa tujuan yang jelas dan kembali dengan pemikiran-pemikiran baru yang tidak masuk akal.
Pada dialognya dengan Helicon, di awal kemunculannya, Caligula mengungkapkan bahwa ia sangat menginginkan bulan bahkan telah mencarinya selama tiga hari. Di sini, keinginan Caligula telah menunjukkan perubahan perilaku serta pemikiran dan bulan telah menjadi simbol sebuah obsesi pada suatu hal yang tidak mungkin. Sejak awal kemunculan Caligula di dalam naskahnya, Camus telah menekankan hal yang ingin ditunjukkannya dari drama ini.
Masih dalam percakapan dengan Helicon, seorang yang dipercayainya, Caligula berkata bahwa ia tidak bisa mentolerir dunia dan tatanan yang ada sehingga ia akhirnya menginginkan bulan atau kebahagiaan atau kehidupan abadi yang bukan bagian dari dunia. Caligula membantah bahwa keinginannya itu bukan berasal dari dukanya sebab kehilangan orang yang dicintainya, justru rasa kehilangan telah membuatnya menyadari kebenaran sederhana tentang manusia yang mati dan tidak berbahagia.
Bahkan pada percakapannya dengan Caesonia, gundiknya, Caligula kembali menyatakan bahwa ia bersedih karena dunia ini seluruhnya salah, bukan karena cinta atau kehilangan.
Maka dari sinilah, dari kesedihan, duka dan kekecewaan pada dunia yang terlihat salah, Caligula mulai menjalankan perilaku logikanya yang terobsesi pada sesuatu hal yang tidak mungkin, yang dibaca sebagai perilaku keji dan gila. Dan Camus, sang penulis naskah, mengalami kesedihan, duka dan kekecewaan itu sepanjang hidupnya.
Mengutip dari Saini K.M dalam buku Dramawan dan Karyanya, bahwa Camus sendiri pernah berkata "Beberapa tahun hidup dalam penderitaan, sudah cukup untuk membentuk kepekaan seseorang".
Perilaku Caligula tidak dapat dimengerti oleh manusia dengan pemikiran yang berbelit-belit dan penuh kekhawatiran tentang masa depan. Caligula adalah sosok manusia dengan kekuasaan besar yang menjalankan perilaku paling logis sebagai manusia. Pemikirannya sangat sederhana, obsesinya murni sebagai manusia.
Caligula muncul sebagai tiran sebab ia jujur pada dirinya sendiri, menjadi kejam adalah salah satu bentuk kebahagiaan sebagai manusia, setelah ia mengesampingkan nilai-nilai dan moralitas dari dalam dirinya. Bahwa ketika ia berlaku baik, ia merasa tidak bahagia bahkan berduka sebab kehilangan. Namun ketika ia menjadi kejam, ia tidak lagi merasakan duka kehilangan atau kecewa terhadap apapun.
Caligula tidak membuang sisi manusiawinya, ia justru memunculkan sifat dasar manusia yang merupakan sisi kelam manusia ke permukaan. Caligula dengan sederhana, memandang penderitaan dan kesedihan, yang pada kenyataannya tidak dapat berlangsung terus menerus, merupakan suatu hal yang sia-sia. Dan bukankah kita sering mendengar orang-orang berkata bahwa kematian adalah kebebasan paling murni? Melalui Caligula, dalam percakapan ketika ia membunuh Caesonia, Camus telah menyampaikannya secara implisit bahwa kematian adalah sebuah kebebasan.
Caligula yang ditulis oleh Camus, pada akhirnya terlihat sebagai sosok yang kesepian, sebab hanya ia sendiri yang mampu mencapai pemikiran dan menjalani perilakunya. Ia menolak semua pemahaman yang datang dari orang-orang yang mencintainya. Ia punya rasa bersalah yang ditunjukkan melalui ucapannya "kita akan selamanya bersala", namun terhapus sebab ia menyadari bahwa tidak ada manusia yang tidak berdosa, tidak ada yang pantas menjadi hakim bagi manusia lain. Caligula juga sempat merasa takut ketika menyadari kematiannya akan segera datang, tapi rasa takut itu diselesaikan dengan pemahamannya bahwa ketakutan juga ada akhirnya.
Dialog yang diucapkan Caligula beberapa saat sebelum kematiannya, "Jika aku memiliki bulan itu, jika cinta sudah cukup, semua mungkin akan lain" dan "Kebebasanku bukanlah kebebesan yang benar" terlihat sebagai sisi penyesalan Caligula yang dengan cepat terhapus oleh kesadaran terhadap keberadaan diri dan pemikirannya yang menginginkan sesuatu yang mustahil. "Aku masih hidup" adalah dialog terakhir yang diucapkan oleh Caligula. Kalimat terakhir Caligula ini memiliki beberapa pemahaman. Ucapan ini dapat dipahami menjadi suatu kenihilan lain dari obsesi Caligula sebagai manusia, bahwa tidak ada kematian bagi dirinya, sebuah pernyataan tentang keabadian. Pemahaman lain adalah bahwa Caligula memang tidak pernah mati, ia hidup sebagai ‘sisi Caligula’ dalam setiap diri manusia.
Sebagai manusia, Caligula mengalami proses paling lengkap. Melalui Caligula, Camus mampu menunjukkan semua sisi yang melekat pada manusia sejak lahir hingga mati. Kesadaran-kesadaran yang hanya mampu dicapai oleh mereka yang masih bertahan hidup setelah mengalami hal-hal terburuk di dasar kehidupan, mereka yang mengalami apa yang sering disebut sebagai "hidup kembali". Disadari atau tidak, penderitaan, kesedihan dan kekecewaan adalah hal yang paling sering ditemui dalam hidup.
Obsesi Caligula yang dituliskan Camus di dalam naskah dramanya, sejak tahun 1938 hingga kini, telah banyak ditampilkan di berbagai pentas di dunia dalam berbagai versi. Tidak mau ketinggalan, melalui tangan sutradara Yusef W. Muldiyana dan Irwan Jamal sebagai Caligula, Laskar Panggung Bandung, salah satu kelompok teater yang sangat produktif di Kota Bandung, berencana akan mementaskan Caligula di Kota Tasimalaya, Jakarta dan Bandung pada awal tahun 2016.
Sang Sutradara Yusef W. Muldiyana, biasa dipanggil Kang Yusef atau abah adalah Aktor, Sutradara sekaligus Penulis Naskah yang berdomisili di Kota Bandung. Dengan totalitasnya dalam kesenian, Kang Yusef telah menjadi salah seorang mentor bertangan dingin dalam salah satu genre seni pertunjukan di bidang teater. Kejelian serta kedisiplinannya dalam berkesenian, menjadikan naskah-naskahnya tak hanya terasa matang namun juga mampu memberikan efek kejut atas persepsinya terhadap naskah yang sedang dilakoninya.
Dalam Caligula, ia mencoba mengangkat sisi terdalam seorang manusia yang juga seorang pemimpin. Pementasan Caligula yang disutradarai Kang Yusef nantinya akan menjadi berbeda sebab ia mengangkat sisi protagonis seorang Caligula. Sebab bagaimanapun, selalu ada sejarah panjang dari proses eksistensi manusia, dimana sisi kebaikan tetaplah hadir meskipun berada dalam ruang tergelapnya.1
Sang Caligula, Irwan Jamal, adalah seorang Penulis Naskah, Sutradara sekaligus Aktor lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia jurusan Teater dengan spesialisasi Penyutradaraan dan Program Magister Penciptaan Seni Urban, Institut Kesenian Jakarta. Mulai berteater sejak tahun 1995 dan hingga kini telah terlibat dalam 300 lebih pertunjukan di berbagai pentas di Indonesia. Setelah berkali-kali berada di posisi Sutradara atau Penulis Naskah dalam kelompok teater bentukannya, Teater Piktorial, Caligula menjadi pelepasan dahaganya sebagai seorang Aktor.
Irwan menyukai tokoh Caligula yang diperankannya karena Caligula adalah salah satu tokoh yang penuh dengan konflik pemikiran dan bathin. Caligula dalam penafsiran Irwan, setelah kematian Drussila, berjuang mengatasi konflik pemikiran dan bathinnya sendiri. Sesuai dengan prinsipnya dalam proses berkesenian yaitu "penjelajahan seni tanpa batas", dalam tiap sesi latihan, Irwan selalu melakukan penafsiran-penafsiran baru dari tiap dialog dan adegan di dalam Caligula sampai ia menemukan Caligula miliknya sendiri.2
Dibantu oleh semua Aktor Laskar Panggung Bandung, melibatkan Koreografer Tari dan Komposer serta Kelompok Vokal Ensemble Tikoro di atas panggung, sesuai dengan ciri khas pementasan Laskar Panggung Bandung, Caligula milik Albert Camus akan dipentaskan dalam bentuk yang berbeda. Kang Yusef, sebagai Sutradara berharap nantinya Caligula yang ditampilkan oleh Laskar Panggung Bandung akan mampu memberikan pemahaman dari sudut yang berbeda, seperti yang juga ingin disampaikan oleh Albert Camus, sang pencipta Caligula.
~ DewiBulan (Sei)
Catatan:
1. Sekilas profil Yusef W.Muldiyana, oleh Okty Budiati.
2. Wawancara singkat melalui BBM dengan Irwan Jamal, 15 November 2015.
Pustaka:
K.M., Saini. 1993. Dramawan dan Karyanya. Bandung: Angkasa.
Asnawi, Ahmad. 2001. Caligula dan Lakon Lainnya, terjemahan dari Caligula, The Missunderstanding, The Just Assassins, Albert Camus. Yogyakarta : Penerbit Mata Angin.
Pencapaian tentang pemahaman kebahagiaan manusia yang disadari oleh Caligula dalam pernyataannya yang terkenal, bahwa manusia mati dan tidak berbahagia, tentulah lahir dari kesadaran seorang Camus.
Caligula yang ditampilkan oleh Camus dalam naskah yang ditulisnya pada tahun 1938, adalah sosok pemimpin dengan kekecewaan mendalam pada kehidupan yang dilihat dan dijalaninya. Kekecewaan itu kemudian melahirkan pandangan logisnya terhadap kehidupan sehingga ia menolak semua nilai moril di dalam kehidupan.
Caligula terobsesi pada hal-hal yang mustahil, ia melawan semua keterikatan yang membatasi dirinya sebagai manusia dan menyebutnya sebagai kebenaran. Dalam pengantar pengarang yang ditulis Albert Camus pada tahun 1957 untuk Caligula, The Misunderstanding, The Just Assassins, Camus menulis bahwa naskah Caligula seharusnya dinilai sebagai sebuah tragedi kecerdasan, bukan secara filosofis. Melalui Caligula, Camus ingin menggambarkan kehancuran yang disebabkan oleh sebuah obsesi pada sesuatu yang mustahil sekaligus kegagalannya.
Caligula, yang sebelumnya adalah pemimpin yang baik, dalam kemudaannya kehilangan orang yang paling dicintainya. Kehilangan yang mendatangkan kekecewaan dan duka mendalam. Duka yang kemudian dicemooh oleh orang-orang di sekitarnya. Manusia dengan duka seperti itu, akan menarik diri dari kehidupan selama beberapa saat dan kembali dengan sesuatu yang baru atau berbeda, pada perilaku dan pemikirannya. Ini adalah tiga hari kepergian Caligula, menghilang tanpa tujuan yang jelas dan kembali dengan pemikiran-pemikiran baru yang tidak masuk akal.
Pada dialognya dengan Helicon, di awal kemunculannya, Caligula mengungkapkan bahwa ia sangat menginginkan bulan bahkan telah mencarinya selama tiga hari. Di sini, keinginan Caligula telah menunjukkan perubahan perilaku serta pemikiran dan bulan telah menjadi simbol sebuah obsesi pada suatu hal yang tidak mungkin. Sejak awal kemunculan Caligula di dalam naskahnya, Camus telah menekankan hal yang ingin ditunjukkannya dari drama ini.
Masih dalam percakapan dengan Helicon, seorang yang dipercayainya, Caligula berkata bahwa ia tidak bisa mentolerir dunia dan tatanan yang ada sehingga ia akhirnya menginginkan bulan atau kebahagiaan atau kehidupan abadi yang bukan bagian dari dunia. Caligula membantah bahwa keinginannya itu bukan berasal dari dukanya sebab kehilangan orang yang dicintainya, justru rasa kehilangan telah membuatnya menyadari kebenaran sederhana tentang manusia yang mati dan tidak berbahagia.
Bahkan pada percakapannya dengan Caesonia, gundiknya, Caligula kembali menyatakan bahwa ia bersedih karena dunia ini seluruhnya salah, bukan karena cinta atau kehilangan.
Maka dari sinilah, dari kesedihan, duka dan kekecewaan pada dunia yang terlihat salah, Caligula mulai menjalankan perilaku logikanya yang terobsesi pada sesuatu hal yang tidak mungkin, yang dibaca sebagai perilaku keji dan gila. Dan Camus, sang penulis naskah, mengalami kesedihan, duka dan kekecewaan itu sepanjang hidupnya.
Mengutip dari Saini K.M dalam buku Dramawan dan Karyanya, bahwa Camus sendiri pernah berkata "Beberapa tahun hidup dalam penderitaan, sudah cukup untuk membentuk kepekaan seseorang".
Perilaku Caligula tidak dapat dimengerti oleh manusia dengan pemikiran yang berbelit-belit dan penuh kekhawatiran tentang masa depan. Caligula adalah sosok manusia dengan kekuasaan besar yang menjalankan perilaku paling logis sebagai manusia. Pemikirannya sangat sederhana, obsesinya murni sebagai manusia.
Caligula muncul sebagai tiran sebab ia jujur pada dirinya sendiri, menjadi kejam adalah salah satu bentuk kebahagiaan sebagai manusia, setelah ia mengesampingkan nilai-nilai dan moralitas dari dalam dirinya. Bahwa ketika ia berlaku baik, ia merasa tidak bahagia bahkan berduka sebab kehilangan. Namun ketika ia menjadi kejam, ia tidak lagi merasakan duka kehilangan atau kecewa terhadap apapun.
Caligula tidak membuang sisi manusiawinya, ia justru memunculkan sifat dasar manusia yang merupakan sisi kelam manusia ke permukaan. Caligula dengan sederhana, memandang penderitaan dan kesedihan, yang pada kenyataannya tidak dapat berlangsung terus menerus, merupakan suatu hal yang sia-sia. Dan bukankah kita sering mendengar orang-orang berkata bahwa kematian adalah kebebasan paling murni? Melalui Caligula, dalam percakapan ketika ia membunuh Caesonia, Camus telah menyampaikannya secara implisit bahwa kematian adalah sebuah kebebasan.
Caligula yang ditulis oleh Camus, pada akhirnya terlihat sebagai sosok yang kesepian, sebab hanya ia sendiri yang mampu mencapai pemikiran dan menjalani perilakunya. Ia menolak semua pemahaman yang datang dari orang-orang yang mencintainya. Ia punya rasa bersalah yang ditunjukkan melalui ucapannya "kita akan selamanya bersala", namun terhapus sebab ia menyadari bahwa tidak ada manusia yang tidak berdosa, tidak ada yang pantas menjadi hakim bagi manusia lain. Caligula juga sempat merasa takut ketika menyadari kematiannya akan segera datang, tapi rasa takut itu diselesaikan dengan pemahamannya bahwa ketakutan juga ada akhirnya.
Dialog yang diucapkan Caligula beberapa saat sebelum kematiannya, "Jika aku memiliki bulan itu, jika cinta sudah cukup, semua mungkin akan lain" dan "Kebebasanku bukanlah kebebesan yang benar" terlihat sebagai sisi penyesalan Caligula yang dengan cepat terhapus oleh kesadaran terhadap keberadaan diri dan pemikirannya yang menginginkan sesuatu yang mustahil. "Aku masih hidup" adalah dialog terakhir yang diucapkan oleh Caligula. Kalimat terakhir Caligula ini memiliki beberapa pemahaman. Ucapan ini dapat dipahami menjadi suatu kenihilan lain dari obsesi Caligula sebagai manusia, bahwa tidak ada kematian bagi dirinya, sebuah pernyataan tentang keabadian. Pemahaman lain adalah bahwa Caligula memang tidak pernah mati, ia hidup sebagai ‘sisi Caligula’ dalam setiap diri manusia.
Sebagai manusia, Caligula mengalami proses paling lengkap. Melalui Caligula, Camus mampu menunjukkan semua sisi yang melekat pada manusia sejak lahir hingga mati. Kesadaran-kesadaran yang hanya mampu dicapai oleh mereka yang masih bertahan hidup setelah mengalami hal-hal terburuk di dasar kehidupan, mereka yang mengalami apa yang sering disebut sebagai "hidup kembali". Disadari atau tidak, penderitaan, kesedihan dan kekecewaan adalah hal yang paling sering ditemui dalam hidup.
Obsesi Caligula yang dituliskan Camus di dalam naskah dramanya, sejak tahun 1938 hingga kini, telah banyak ditampilkan di berbagai pentas di dunia dalam berbagai versi. Tidak mau ketinggalan, melalui tangan sutradara Yusef W. Muldiyana dan Irwan Jamal sebagai Caligula, Laskar Panggung Bandung, salah satu kelompok teater yang sangat produktif di Kota Bandung, berencana akan mementaskan Caligula di Kota Tasimalaya, Jakarta dan Bandung pada awal tahun 2016.
Sang Sutradara Yusef W. Muldiyana, biasa dipanggil Kang Yusef atau abah adalah Aktor, Sutradara sekaligus Penulis Naskah yang berdomisili di Kota Bandung. Dengan totalitasnya dalam kesenian, Kang Yusef telah menjadi salah seorang mentor bertangan dingin dalam salah satu genre seni pertunjukan di bidang teater. Kejelian serta kedisiplinannya dalam berkesenian, menjadikan naskah-naskahnya tak hanya terasa matang namun juga mampu memberikan efek kejut atas persepsinya terhadap naskah yang sedang dilakoninya.
Dalam Caligula, ia mencoba mengangkat sisi terdalam seorang manusia yang juga seorang pemimpin. Pementasan Caligula yang disutradarai Kang Yusef nantinya akan menjadi berbeda sebab ia mengangkat sisi protagonis seorang Caligula. Sebab bagaimanapun, selalu ada sejarah panjang dari proses eksistensi manusia, dimana sisi kebaikan tetaplah hadir meskipun berada dalam ruang tergelapnya.1
Sang Caligula, Irwan Jamal, adalah seorang Penulis Naskah, Sutradara sekaligus Aktor lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia jurusan Teater dengan spesialisasi Penyutradaraan dan Program Magister Penciptaan Seni Urban, Institut Kesenian Jakarta. Mulai berteater sejak tahun 1995 dan hingga kini telah terlibat dalam 300 lebih pertunjukan di berbagai pentas di Indonesia. Setelah berkali-kali berada di posisi Sutradara atau Penulis Naskah dalam kelompok teater bentukannya, Teater Piktorial, Caligula menjadi pelepasan dahaganya sebagai seorang Aktor.
Irwan menyukai tokoh Caligula yang diperankannya karena Caligula adalah salah satu tokoh yang penuh dengan konflik pemikiran dan bathin. Caligula dalam penafsiran Irwan, setelah kematian Drussila, berjuang mengatasi konflik pemikiran dan bathinnya sendiri. Sesuai dengan prinsipnya dalam proses berkesenian yaitu "penjelajahan seni tanpa batas", dalam tiap sesi latihan, Irwan selalu melakukan penafsiran-penafsiran baru dari tiap dialog dan adegan di dalam Caligula sampai ia menemukan Caligula miliknya sendiri.2
Dibantu oleh semua Aktor Laskar Panggung Bandung, melibatkan Koreografer Tari dan Komposer serta Kelompok Vokal Ensemble Tikoro di atas panggung, sesuai dengan ciri khas pementasan Laskar Panggung Bandung, Caligula milik Albert Camus akan dipentaskan dalam bentuk yang berbeda. Kang Yusef, sebagai Sutradara berharap nantinya Caligula yang ditampilkan oleh Laskar Panggung Bandung akan mampu memberikan pemahaman dari sudut yang berbeda, seperti yang juga ingin disampaikan oleh Albert Camus, sang pencipta Caligula.
~ DewiBulan (Sei)
Catatan:
1. Sekilas profil Yusef W.Muldiyana, oleh Okty Budiati.
2. Wawancara singkat melalui BBM dengan Irwan Jamal, 15 November 2015.
Pustaka:
K.M., Saini. 1993. Dramawan dan Karyanya. Bandung: Angkasa.
Asnawi, Ahmad. 2001. Caligula dan Lakon Lainnya, terjemahan dari Caligula, The Missunderstanding, The Just Assassins, Albert Camus. Yogyakarta : Penerbit Mata Angin.