niadi.net — Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan.
Meski barang kebutuhan pokok tetap dikecualikan dari PPN, dampaknya tetap akan dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kebijakan Kenaikan PPN dan Barang yang Dikecualikan
Dalam penjelasannya, pemerintah menegaskan bahwa bahan kebutuhan pokok seperti beras, gula, daging, susu, dan telur akan tetap bebas dari PPN.
Selain itu, jasa pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan transportasi umum juga mendapatkan pengecualian serupa. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dari dampak langsung kenaikan tarif.
Namun, barang dan jasa tertentu yang tergolong premium, seperti makanan impor berkualitas tinggi, layanan pendidikan eksklusif, serta peralatan elektronik mahal, akan dikenakan tarif penuh.
Tarif baru ini juga berlaku untuk pelanggan listrik rumah tangga dengan kapasitas tinggi, yakni 3.500 VA ke atas.
Analisis Dampak oleh Para Ekonom
Para ekonom dari berbagai lembaga memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan ini. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, mengungkapkan bahwa meskipun barang pokok dikecualikan dari PPN, kebijakan ini bukanlah hal baru.
Pengaturan pengecualian semacam itu sudah diatur sejak Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Bhima menilai, kenaikan tarif tetap akan membebani mayoritas masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama karena sebagian besar kebutuhan lainnya masih dikenakan pajak.
Menurut CELIOS, kenaikan PPN dapat memicu lonjakan inflasi. Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, memprediksi bahwa kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan menghadapi tekanan ekonomi yang lebih besar.
Ia memperkirakan kenaikan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 101.880 per bulan untuk kelompok ini, sementara kelas menengah atas akan mengalami peningkatan hingga Rp 354.293 per bulan. Kondisi ini dapat mempercepat fenomena penurunan status ekonomi dari kelas menengah menjadi kelas rentan.
Kenaikan Harga dan Pengaruh Terhadap Konsumsi
Selain meningkatkan beban ekonomi rumah tangga, kenaikan PPN juga akan berdampak pada harga barang-barang elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, dan berbagai komoditas lain.
Bhima menjelaskan bahwa kenaikan harga ini tidak sebanding dengan daya beli masyarakat Indonesia, yang saat ini masih lemah akibat pemulihan ekonomi pascapandemi.
Media Wahyudi menyoroti bahwa membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara seperti Kanada, Brasil, atau Tiongkok kurang relevan. Negara-negara tersebut memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi dan stabilitas ekonomi yang lebih baik, sehingga kenaikan pajak konsumsi tidak berdampak signifikan pada daya beli masyarakatnya.
Sebaliknya, di Indonesia, ekonomi kelas menengah sedang terpukul akibat berbagai tekanan ekonomi, sehingga kenaikan PPN justru dapat memperparah situasi.
Efek pada Pertumbuhan Ekonomi
Nailul Huda, Direktur Ekonomi CELIOS, menambahkan bahwa kenaikan tarif PPN juga dapat memengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian nasional. Saat tarif PPN berada di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai sekitar 5 persen.
Setelah tarif naik menjadi 11 persen pada 2022, angka ini melambat menjadi 4,8 persen pada 2023. Dengan kenaikan menjadi 12 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diperkirakan akan terus melambat atau bahkan menjadi negatif pada tahun 2025.
Secara keseluruhan, kontribusi kenaikan PPN terhadap penerimaan negara diperkirakan tidak akan signifikan. Sebaliknya, pelemahan daya beli masyarakat dan menurunnya omzet pelaku usaha justru dapat mengurangi penerimaan pajak lainnya, seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan bea cukai.
Ketidakseimbangan dengan Kebijakan Upah Minimum
Kenaikan tarif PPN juga dianggap tidak sepadan dengan peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang diumumkan baru-baru ini.
Bhima menyatakan bahwa dampak kenaikan pajak jauh lebih besar daripada manfaat kenaikan UMP, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan insentif pajak yang diterapkan pemerintah pun dianggap hanya bersifat sementara dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Salah satu contoh insentif adalah PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk kendaraan listrik hybrid. Kebijakan ini dinilai lebih menguntungkan kelompok menengah atas dibandingkan masyarakat umum.
Menurut Bhima, insentif tersebut tidak relevan di tengah perlambatan ekonomi yang dialami mayoritas masyarakat Indonesia.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan langkah reformasi perpajakan yang memiliki potensi dampak luas terhadap perekonomian.
Meskipun pemerintah memberikan pengecualian untuk barang pokok dan sejumlah jasa penting, kenaikan ini tetap akan membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Selain itu, kebijakan ini dapat memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan melemahkan daya beli masyarakat.
Para ekonom merekomendasikan agar pemerintah mengevaluasi ulang kebijakan ini, dengan mempertimbangkan situasi ekonomi domestik dan dampaknya terhadap masyarakat.
Pendekatan yang lebih inklusif, seperti memperluas bantuan sosial atau menyesuaikan insentif untuk kelompok rentan, dapat menjadi solusi untuk mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan tarif pajak ini.