Trending

Polemik Kenaikan PPN 12 Persen: Apa Dampaknya bagi Masyarakat?

Polemik Kenaikan PPN 12 Persen: Apa Dampaknya bagi Masyarakat?
merdeka.com

niadi.net — Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 memicu gelombang kritik dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat.

Awalnya, kenaikan ini dijanjikan hanya berlaku untuk barang mewah, tetapi kenyataannya berimbas pada berbagai barang dan jasa yang digunakan masyarakat luas.

Kritik datang dari kalangan tokoh agama, akademisi, hingga pengamat ekonomi. Mereka menilai bahwa kebijakan ini dapat memperberat beban masyarakat kecil dan menggerus daya beli rakyat.

Dalam tulisan ini, akan dibahas dampak kenaikan PPN, pertimbangan untuk menundanya, serta alternatif yang bisa ditempuh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.

Dampak Kenaikan PPN Terhadap Masyarakat

Jacklevyn Fritz Manuputty, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), menyoroti dampak langsung kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Menurutnya, langkah pemerintah menaikkan pajak ini perlu diimbangi dengan penerapan jaring pengaman sosial yang memadai untuk melindungi kelompok rentan.

Jacklevyn mengatakan, PPN yang lebih tinggi akan langsung memengaruhi kemampuan masyarakat kecil dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan pajak sebagai upaya membangun kepercayaan publik. Menurutnya, kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan akan meningkat jika dana publik dikelola dengan akuntabilitas tinggi.

Senada dengan itu, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menegaskan bahwa kenaikan PPN akan semakin menyulitkan masyarakat kelas menengah bawah.

Dalam sebuah acara diskusi virtual, ia menyebut bahwa daya beli kelompok ini sudah melemah akibat dampak pandemi dan inflasi.

Momentum Kenaikan PPN 12% yang Dipertanyakan

Komaruddin Hidayat, akademisi sekaligus anggota GNB, menekankan pentingnya pemerintah mempertimbangkan momentum sebelum menerapkan kebijakan tersebut.

Ia menyebut, kenaikan PPN saat ini bisa menjadi kontraproduktif karena tekanan ekonomi yang sudah dirasakan masyarakat.

Komaruddin menejlaskan, jika harga kebutuhan pokok sudah naik sebelum kebijakan diberlakukan, ini menjadi sinyal bahwa masyarakat akan semakin terjepit.

Ia juga mengkritik persepsi publik terhadap struktur kabinet pemerintah yang dinilai terlalu besar. "Jika kemudian image masyarakat sebaliknya bahwa semakin banyak menteri-menteri, semakin banyak gaji, sementara produktifitas belum muncul, lalu PPN dinaikkan, ini seakan-akan rakyat diminta subsidi," tambahnya.

Opsi Menunda Kenaikan PPN

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riyana Hardjapamekas, mengemukakan bahwa pemerintah masih memiliki opsi untuk menunda kenaikan PPN.

Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Erry berujar, Perppu dapat diterbitkan dalam kondisi genting, dengan persetujuan dari DPR. Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa langkah ini benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak.

Selain itu, Lukman Hakim Saifuddin, tokoh GNB lainnya, menyatakan bahwa DPR dapat merevisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk menunda kenaikan ini.

Menurutnya, revisi undang-undang bisa dilakukan dengan cepat jika ada komitmen dari legislatif untuk merespons aspirasi masyarakat.

Lukman mengungkapkan, jika DPR mampu merevisi undang-undang tertentu dalam hitungan hari, maka penyesuaian undang-undang terkait PPN juga bukan hal yang mustahil.

Alternatif untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Sebagai pengganti kenaikan PPN, berbagai alternatif diusulkan untuk menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat kecil.

Erry menyarankan pemerintah untuk memfokuskan pajak pada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.

Erry menjelaskan, peningkatan pajak untuk individu atau kelompok kaya adalah opsi yang lebih adil dibandingkan membebankan seluruh lapisan masyarakat dengan kenaikan PPN.

Ia juga mengingatkan pentingnya mengatasi kebocoran pajak yang selama ini menjadi persoalan serius. Jika kebocoran dapat diminimalkan, penerimaan negara akan meningkat secara signifikan tanpa harus memberatkan rakyat.

Di sisi lain, Erry juga menekankan pentingnya insentif bagi sektor tertentu, seperti pendidikan. "Pekerja di sektor pendidikan, termasuk guru swasta, layak mendapatkan perhatian lebih berupa insentif atau keringanan pajak, karena mereka berkontribusi besar terhadap pembangunan sumber daya manusia," tambahnya.

Tanggapan Istana?

Meskipun kritik dan protes terus berdatangan, pihak Istana Kepresidenan belum memberikan tanggapan yang jelas mengenai desakan untuk membatalkan kenaikan PPN.

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengarahkan pertanyaan terkait kebijakan ini kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Namun, desakan masyarakat untuk membatalkan kenaikan PPN semakin kuat, seperti terlihat dari aksi mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

Demonstrasi yang berlangsung di Jakarta menuntut pemerintah untuk lebih memperhatikan kondisi masyarakat sebelum memberlakukan kebijakan yang dapat memperberat beban ekonomi mereka.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran besar terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah bawah. Kebijakan ini dinilai tidak tepat waktu dan berpotensi kontraproduktif dalam mendorong pemulihan ekonomi.

Pemerintah perlu mempertimbangkan opsi untuk menunda kenaikan ini, baik melalui penerbitan Perppu maupun revisi undang-undang.

Selain itu, alternatif seperti peningkatan pajak bagi kelompok berpenghasilan tinggi dan perbaikan pengelolaan pajak menjadi solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan pajak tidak hanya bergantung pada peningkatan tarif, tetapi juga pada kemampuan pemerintah untuk membangun kepercayaan publik melalui transparansi dan keadilan.

Aspirasi masyarakat harus menjadi dasar dalam merancang kebijakan, terutama yang menyangkut kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat.

Lebih baru Lebih lama

Cek artikel niadinet lainnya via WhatsApp atau Google News

Formulir Kontak