
niadi.net — Utang pemerintah Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini semakin menjadi perhatian publik, mengingat utang yang terakumulasi mencapai angka yang fantastis.
Pada akhir November 2024, utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.680,13 triliun, yang tentunya merupakan angka yang sangat besar. Utang yang terus bertambah ini mencakup berbagai komponen, termasuk surat berharga negara dan pinjaman luar negeri.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apa yang menyebabkan utang Indonesia terus membengkak? Dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian negara?
Sejarah Peningkatan Utang Indonesia
Peningkatan utang Indonesia bukanlah hal baru. Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memulai masa pemerintahannya pada 2014, Indonesia sudah memiliki utang sekitar Rp2.608,78 triliun.
Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada saat itu adalah 24,7 persen. Sejak saat itu, jumlah utang terus meningkat, dan pada 30 November 2024, utang pemerintah Indonesia telah mencapai angka yang mengejutkan, yaitu Rp8.680,13 triliun.
Peningkatan utang ini terjadi di tengah berbagai kebijakan pemerintah yang terus berupaya untuk memajukan perekonomian melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan sektor ekonomi strategis, dan pemberian subsidi untuk sektor-sektor tertentu.
Meskipun demikian, ada banyak faktor yang menyebabkan utang pemerintah semakin membesar.
Penyebab Utang Pemerintah Indonesia Terus Meningkat
Menurut ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, permasalahan utama terkait utang pemerintah Indonesia bukan hanya soal besarnya angka utang, tetapi lebih kepada beban utang yang harus dibayar oleh negara.
Awalil menjelaskan bahwa peningkatan utang yang terus berlangsung dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, di antaranya adalah defisit anggaran, pengeluaran pembiayaan, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
1. Defisit Anggaran yang Terus Berlanjut
Salah satu penyebab utama peningkatan utang adalah adanya defisit anggaran yang berkelanjutan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, defisit anggaran Indonesia tercatat mencapai Rp507,80 triliun.
Defisit anggaran ini terjadi ketika pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara yang diterima dari pajak dan sumber lainnya. Defisit ini harus ditutupi dengan meminjam dana, yang kemudian menambah total utang pemerintah.
2. Pengeluaran Pembiayaan Pemerintah
Selain defisit anggaran, pengeluaran pemerintah juga turut memengaruhi jumlah utang yang terus meningkat. Pemerintah Indonesia memiliki sejumlah program investasi besar, seperti pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek strategis lainnya.
Pengeluaran untuk investasi ini, meskipun penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi jangka panjang, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, yang sebagian besar dibiayai melalui utang.
3. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar AS. Sebagian besar utang pemerintah Indonesia berdenominasi dalam mata uang asing, terutama dolar AS.
Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, beban utang dalam mata uang asing pun akan semakin besar. Hal ini bisa menambah tekanan pada keuangan negara, karena pembayaran bunga utang dan pokok utang yang berdenominasi dolar harus disesuaikan dengan nilai tukar yang berlaku.
Struktur Utang Indonesia: SBN dan Pinjaman Luar Negeri

Untuk lebih memahami utang pemerintah Indonesia, penting untuk melihat struktur utang tersebut. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Awalil Rizky, per 30 November 2024, utang pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua komponen utama: Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri.
Surat Berharga Negara (SBN)
Sebagian besar utang pemerintah Indonesia berupa SBN, yang mencapai 88,12 persen dari total utang, atau sekitar Rp7.648 triliun. SBN ini diterbitkan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk menarik dana dari pasar.
SBN memiliki jangka waktu yang bervariasi dan bunga yang harus dibayar kepada pemegangnya. SBN menjadi salah satu sumber utama pendanaan bagi pemerintah, namun juga menambah beban karena harus dibayar dengan bunga yang cukup besar.
Pinjaman Luar Negeri
Sebagian kecil dari utang pemerintah Indonesia berasal dari pinjaman luar negeri, yang mencapai 12 persen, atau sekitar Rp1.031 triliun. Pinjaman ini diberikan oleh lembaga keuangan internasional maupun negara-negara donor dalam bentuk pinjaman berbunga, yang juga harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu.
Pinjaman luar negeri ini sering kali digunakan untuk mendanai proyek-proyek besar yang membutuhkan dana besar, seperti pembangunan infrastruktur dan pengembangan sektor ekonomi lainnya.
Dampak Utang Terhadap Ekonomi
Peningkatan utang yang terus-menerus tentunya memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Meskipun utang dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek penting yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun jika tidak dikelola dengan hati-hati, utang juga bisa menambah beban yang berat bagi negara.
1. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Optimal
Menurut Awalil Rizky, meskipun utang pemerintah seharusnya mendukung pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan angka yang tidak terlalu impresif.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun pemerintahan Jokowi hanya mencapai 4,13 persen per tahun. Jika dikeluarkan faktor pandemi, pada lima tahun pertama pemerintahan Jokowi, rata-rata pertumbuhannya hanya sebesar 5,03 persen per tahun.
Sementara itu, pada era 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,69 persen per tahun.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun utang semakin meningkat, laju pertumbuhannya tidak sebanding dengan kenaikan utang tersebut.
Ini bisa menjadi indikasi bahwa ada masalah dalam efisiensi penggunaan dana utang, atau bahwa proyek-proyek yang dibiayai dengan utang tersebut belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Beban Utang yang Berat
Meskipun utang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, namun beban utang yang terus meningkat dapat memberikan dampak jangka panjang yang negatif.
Beban utang yang besar akan mempengaruhi anggaran negara, karena sebagian besar pendapatan harus digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang. Hal ini dapat mengurangi dana yang tersedia untuk sektor-sektor penting lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Jika tidak dikelola dengan baik, utang bisa menghambat kemampuan pemerintah untuk melakukan investasi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan.
3. Ketergantungan pada Utang Asing
Ketergantungan pada utang asing juga dapat menjadi masalah bagi perekonomian Indonesia. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat membuat pembayaran utang luar negeri menjadi lebih mahal, terutama ketika rupiah melemah.
Ketergantungan pada utang asing juga berarti Indonesia harus menghadapi risiko-risiko yang terkait dengan perubahan kebijakan moneter global, terutama kebijakan suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Peningkatan utang pemerintah Indonesia yang terus berlanjut memang merupakan hal yang wajar dalam konteks pembangunan negara besar seperti Indonesia.
Namun, beban utang yang semakin berat menjadi perhatian serius, terutama ketika utang tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa utang yang diambil digunakan untuk proyek-proyek yang dapat memberikan dampak positif yang nyata terhadap perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Selain itu, pengelolaan utang yang hati-hati dan efisien sangat diperlukan agar beban utang tidak menjadi beban yang merugikan negara di masa depan.