Trending

Jepang Bisa Punah: Apa yang Salah dan Mampukah Mereka Bertahan?

Jepang Bisa Punah: Apa yang Salah dan Mampukah Mereka Bertahan?
earth.org

niadi.net — Selama bertahun-tahun, Jepang dikenal sebagai negara yang modern, teratur, dan memiliki teknologi canggih. Namun, di balik kemajuan itu, Negeri Sakura sedang menghadapi krisis demografi yang sangat serius.

Populasinya menyusut dari tahun ke tahun, dan jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Jepang akan menjadi negara dengan kota-kota yang sunyi dan sekolah-sekolah tanpa murid.

Data terbaru menunjukkan bahwa populasi Jepang terus merosot. Hingga Oktober 2024, jumlah penduduk Jepang turun menjadi 120,3 juta, berkurang hampir 900 ribu dari tahun sebelumnya.

Ketika angka penduduk asing ikut dihitung, totalnya hanya 123,8 juta—masih mengalami penurunan signifikan. Ini bukan penurunan sekali dua kali. Ini adalah tahun ke-14 berturut-turut Jepang mencatat penyusutan populasi.

Yang membuat situasi ini semakin mencemaskan adalah proporsi penduduk usia produktif—yakni mereka yang berusia 15 hingga 64 tahun—juga menurun drastis.

Saat ini, kelompok ini hanya mencakup sekitar 59,6% dari total penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang masih memiliki 62,3% penduduk di kelompok usia kerja.

Pemerintah Jepang sebenarnya sudah lama menyadari ancaman ini. Tapi pengakuan saja tidak cukup. Mantan Menteri Kesehatan, Keizo Takemi, menyebut bahwa Jepang berada dalam situasi darurat demografis.

Ia bahkan menyatakan bahwa negara hanya memiliki waktu hingga dekade 2030-an untuk mengubah arah atau menghadapi konsekuensi besar: sistem ekonomi dan sosial yang kolaps karena kekurangan tenaga kerja dan menurunnya konsumsi domestik.

Elon Musk, salah satu tokoh paling vokal soal isu populasi dunia, pernah menanggapi krisis Jepang ini. Ia menyebut bahwa jika tindakan serius tidak diambil, bukan hanya Jepang, tapi banyak negara maju lain bisa saja "punah secara perlahan".

Bukan Sekadar Angka: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Banyak yang bertanya-tanya, mengapa negara maju seperti Jepang bisa terjebak dalam krisis populasi? Menurut pakar demografi Ryuichi Kaneko dari Universitas Meiji, masalah ini berakar dari sistem sosial dan ekonomi yang dibentuk sejak masa pascaperang.

Pada masa itu, Jepang membangun struktur masyarakat yang sangat fokus pada pertumbuhan ekonomi. Segala sesuatu yang tidak berkontribusi langsung pada produktivitas industri dianggap sekunder, termasuk perawatan anak, urusan rumah tangga, dan bahkan peran keluarga itu sendiri.

Akibatnya, pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat—terutama yang dilakukan oleh perempuan—sering kali dipinggirkan, baik secara ekonomi maupun dalam kebijakan publik.

Sistem pembagian kerja berbasis gender mengakibatkan perempuan menanggung beban ganda: mereka diharapkan tetap bekerja, tapi juga bertanggung jawab penuh atas rumah tangga dan pengasuhan anak.

Tidak heran jika banyak wanita Jepang yang menunda menikah atau bahkan memutuskan untuk tidak punya anak.

Tambahkan tekanan budaya dari sistem kerja yang sangat kompetitif dan jam kerja panjang—fenomena "karoshi" atau kematian karena kerja berlebihan bukan hal asing di Jepang—dan kita bisa memahami mengapa generasi muda enggan membangun keluarga.

Mengapa Generasi Muda Jepang Tidak Tertarik Menikah atau Punya Anak?

Ada beberapa faktor penting yang membuat anak muda Jepang memilih untuk tetap lajang atau hidup tanpa anak:
  1. Biaya hidup yang tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka, membuat membesarkan anak terasa seperti beban besar.
  2. Ketidakstabilan pekerjaan, terutama di kalangan pekerja kontrak dan freelance, membuat perencanaan jangka panjang seperti menikah dan memiliki anak terasa riskan.
  3. Budaya kerja yang kaku membuat waktu untuk membangun kehidupan pribadi sangat terbatas.
  4. Stigma terhadap perempuan karier yang tetap ingin bekerja setelah menikah atau punya anak masih kuat, membuat banyak perempuan memilih antara karier atau keluarga, bukan keduanya.

Langkah-Langkah Pemerintah: Sudah Cukup?

Pemerintah Jepang sebenarnya tidak tinggal diam. Akhir tahun 2023, mereka meluncurkan paket kebijakan senilai USD 5 miliar untuk mendongkrak angka kelahiran. Program ini mencakup peningkatan tunjangan anak, perluasan layanan penitipan anak, hingga dukungan pendidikan yang lebih luas.

Selain itu, Jepang juga mulai membuka diri terhadap tenaga kerja asing. Kebijakan imigrasi yang dulunya sangat ketat kini mulai dilonggarkan, khususnya untuk sektor seperti perawatan lansia dan manufaktur yang mengalami kekurangan tenaga kerja.

Targetnya, jumlah pekerja asing bisa dilipatgandakan pada tahun 2040, dan mereka pun diberi kesempatan untuk tinggal lebih lama serta membawa keluarga.

Namun, banyak pihak meragukan efektivitas kebijakan ini. Jepang dikenal sangat homogen, dan integrasi sosial untuk pendatang bukan hal mudah. Bahasa, budaya kerja, dan sikap masyarakat terhadap orang asing masih menjadi hambatan besar.

Apakah Jepang Bisa Keluar dari Krisis Ini?

Memulihkan keseimbangan demografis bukan perkara cepat. Bahkan dengan kebijakan insentif finansial yang besar, tidak ada jaminan bahwa angka kelahiran akan melonjak.

Negara lain seperti Korea Selatan dan Taiwan, yang menghadapi masalah serupa, juga belum berhasil menemukan formula yang efektif.

Satu hal yang jelas: jika Jepang ingin bertahan, mereka perlu melakukan perubahan struktural besar. Mulai dari memperbaiki sistem kerja agar lebih ramah keluarga, menghapus diskriminasi berbasis gender di tempat kerja, hingga menciptakan lingkungan yang benar-benar mendukung kehidupan berkeluarga.

Lebih dari itu, perlu ada perubahan dalam cara berpikir masyarakat. Selama keluarga dan peran pengasuhan masih dianggap sebagai urusan pribadi semata dan bukan tanggung jawab bersama, beban akan tetap berat di pundak individu, terutama perempuan.

Ancaman yang Nyata, Tapi Masih Bisa Diperbaiki

Jepang sedang berada di persimpangan jalan. Mereka bisa terus melaju dengan sistem lama dan melihat populasinya terus menyusut hingga mencapai titik kritis.

Atau mereka bisa berani mengambil langkah-langkah yang menyentuh akar masalah: membangun masyarakat yang inklusif, fleksibel, dan benar-benar mendukung kehidupan manusia—bukan hanya ekonomi.

Apakah Jepang akan berhasil? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi satu hal jelas: waktu mereka tidak banyak lagi.

Lebih baru Lebih lama
Cek berita dan artikel menarik lainnya lebih cepat melalui saluran WhatsApp
Support kami dengan SHARE tulisan ini dan traktir kami kopi disini.

Formulir Kontak