
niadi.net — Memaafkan pasangan yang berselingkuh bukan hal yang mudah. Bahkan bagi sebagian orang, proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan tidak pernah benar-benar selesai.
Tapi kenapa bisa selama itu?
Jawabannya bukan sekadar karena rasa sakit hati. Di balik keputusan untuk memaafkan (atau tidak), ada berbagai faktor kompleks yang melibatkan emosi, psikologis, pengalaman masa lalu, hingga dinamika dalam hubungan itu sendiri.
Rasa Dikhianati yang Tak Sederhana
Ketika seseorang mengetahui bahwa pasangannya selingkuh, hal pertama yang muncul biasanya adalah gelombang emosi yang tak terkendali. Marah, kecewa, hancur, bingung, semua muncul bersamaan.
Itu wajar. Karena yang dilukai bukan hanya perasaan, tapi juga kepercayaan yang selama ini dibangun.
Pengkhianatan ini bukan cuma soal fisik, tapi soal keintiman emosional, keterikatan, dan janji yang dilanggar. Banyak orang merasa bahwa pasangan yang selingkuh seolah menghancurkan fondasi utama dalam hubungan, yaitu rasa aman.
Menurut psikolog klinis Roslina Verauli, proses memaafkan perselingkuhan sangat panjang karena melibatkan kondisi emosional yang berat.
Bahkan pada tahap awal, yaitu saat seseorang baru mengetahui adanya perselingkuhan (fase discovery), reaksi emosional bisa sangat ekstrem.
Tidak sedikit yang mengalami ledakan emosi, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, hingga gejala-gejala mirip PTSD (post-traumatic stress disorder).
Tidak Ada Batas Waktu untuk Memaafkan

Setiap orang memiliki proses penyembuhan yang berbeda. Tidak ada tenggat waktu baku untuk seseorang bisa memaafkan pasangan yang berselingkuh.
Ada yang bisa berdamai dalam beberapa bulan, tapi banyak juga yang butuh waktu bertahun-tahun. Bahkan ada yang tidak pernah benar-benar bisa memaafkan, meski tetap bertahan dalam hubungan itu.
Kondisi ini diperparah jika perselingkuhan terjadi berulang kali. Kepercayaan yang sudah rusak sulit diperbaiki, apalagi jika pelaku tidak menunjukkan penyesalan yang tulus.
Dalam banyak kasus, istri (atau suami) yang dikhianati bisa merasa terus-menerus terjebak dalam siklus rasa curiga, marah, dan sedih.
Yang membuat proses ini semakin rumit adalah ketika seseorang membawa trauma lama ke dalam hubungan.
Misalnya, seorang istri yang ternyata tumbuh besar dalam keluarga yang pernah dihancurkan oleh perselingkuhan ayahnya. Luka lama itu bisa terbuka kembali saat dia mengalami hal yang sama, membuat proses memaafkan semakin sulit.
Trauma Masa Lalu Bisa Memperparah Luka
Pengalaman masa kecil dan latar belakang keluarga sangat memengaruhi cara seseorang merespons krisis dalam hubungan.
Bila seseorang sudah pernah mengalami atau menyaksikan pengkhianatan di masa lalu—entah dari orang tua, mantan pacar, atau lingkungan sekitarnya—rasa sakit akibat perselingkuhan bisa terasa jauh lebih dalam.
Luka yang belum sembuh bisa terbuka kembali dan menjadi beban ganda.
Trauma seperti ini seringkali tidak disadari. Banyak orang tidak mengerti kenapa mereka begitu sulit memaafkan, padahal pasangan sudah minta maaf dan berjanji tidak mengulanginya.
Dalam kasus seperti ini, terapi atau konseling bisa sangat membantu untuk menggali akar luka emosional tersebut.
Forgiveness Tidak Sama dengan Lupa
Satu hal penting yang sering disalahpahami: memaafkan tidak berarti melupakan. Memaafkan adalah proses untuk melepaskan kemarahan dan dendam, bukan menghapus kejadian dari ingatan.
Rasa sakit itu mungkin tidak pernah benar-benar hilang, tapi bisa jadi tidak lagi mengendalikan hidup dan keputusan kita.
Namun, untuk sampai di titik itu, seseorang perlu melewati berbagai fase. Mulai dari marah, sedih, mengelak, sampai akhirnya bisa menerima kenyataan.
Dan ini bukan proses linier—bisa naik turun seperti roller coaster. Kadang hari ini merasa kuat, tapi keesokan harinya kembali terpuruk.
Tidak Semua Hubungan Bisa Diselamatkan

Meski ada pasangan yang bisa bangkit dari krisis perselingkuhan dan menjadi lebih kuat, banyak juga yang akhirnya memilih berpisah. Karena kenyataannya, tidak semua hubungan layak dipertahankan setelah kepercayaan dihancurkan.
Dalam beberapa kasus, perselingkuhan justru membuka mata bahwa ada banyak hal yang salah dalam hubungan tersebut—bukan cuma dari satu pihak, tapi dari kedua belah pihak.
Ada pasangan yang setelah menghadapi krisis ini justru menjadi lebih terbuka, lebih religius, dan lebih kompak dalam membangun kembali relasi yang sehat.
Tapi ada juga yang justru semakin menjauh dan merasa tidak sanggup untuk melanjutkan.
Yang perlu diingat, keputusan untuk bertahan atau berpisah adalah pilihan pribadi. Tidak ada yang bisa memaksa, tidak ada satu jawaban yang benar untuk semua kasus.
Selingkuh 'Iseng' Tetap Sakit
Ada anggapan bahwa jika pasangan selingkuh hanya karena "iseng" atau karena kebutuhan sesaat, itu lebih mudah dimaafkan. Tapi kenyataannya tidak begitu. Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan, apapun motivasinya.
Bahkan jika si pelaku tidak benar-benar jatuh cinta pada selingkuhannya, luka yang ditinggalkan tetap terasa nyata.
Dalam hubungan, yang dilanggar bukan hanya soal cinta, tapi soal komitmen, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap pasangan.
Memaafkan Bukan Tanda Lemah

Seringkali, orang yang memilih untuk memaafkan dianggap lemah atau terlalu memaafkan. Padahal, justru butuh kekuatan besar untuk bisa memaafkan seseorang yang telah menghancurkan hati kita.
Namun, penting juga untuk tidak memaksakan diri memaafkan jika memang belum siap. Memaafkan karena tekanan lingkungan atau karena takut ditinggal malah bisa berujung pada luka baru di kemudian hari. Proses ini harus tulus dan datang dari dalam diri sendiri.
Apakah Konseling Bisa Membantu?
Banyak pasangan yang memilih menjalani konseling pernikahan setelah perselingkuhan terjadi. Langkah ini bisa sangat membantu, terutama jika kedua belah pihak masih ingin memperbaiki hubungan.
Dalam konseling, pasangan bisa belajar memahami alasan di balik perselingkuhan, memperbaiki komunikasi, dan membangun kembali kepercayaan.
Namun, konseling bukan jaminan keberhasilan. Semua kembali pada komitmen masing-masing.
Apakah pelaku siap berubah? Apakah korban bersedia memberi kesempatan kedua? Dan yang paling penting, apakah keduanya mau bekerja sama?
Luka yang Perlu Waktu
Perselingkuhan adalah luka yang dalam. Tidak ada obat instan untuk menyembuhkannya. Memaafkan butuh waktu, usaha, dan kesiapan mental. Kadang jalan menuju pemulihan panjang dan menyakitkan, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Bagi yang sedang menjalani proses ini, tidak apa-apa jika kamu belum bisa memaafkan hari ini. Tidak apa-apa jika masih sering merasa marah atau sedih. Yang penting, kamu jujur pada diri sendiri dan tidak memaksa melupakan sesuatu yang belum kamu pahami sepenuhnya.
Dan bagi yang pernah berselingkuh, minta maaf saja tidak cukup. Tunjukkan dengan tindakan nyata bahwa kamu menyesal dan siap berubah. Karena kepercayaan tidak datang begitu saja—ia dibangun, dirawat, dan bisa runtuh dalam sekejap.