Trending

Materi Pelajaran di Sekolah Akan Dikurangi? Ini Alasan dan Dampaknya

Materi Pelajaran di Sekolah Akan Dikurangi? Ini Alasan dan Dampaknya
kumparan.com

niadi.net — Pemerintah kembali membuat gebrakan di sektor pendidikan. Kali ini, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), akan dilakukan pengurangan materi pelajaran di semua jenjang pendidikan.

Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Menengah, Abdul Mu'ti, dan akan diterapkan dalam waktu dekat.

Langkah ini bukan tanpa alasan. Mu'ti menyebut bahwa pengurangan materi dilakukan untuk mendukung penerapan metode pembelajaran baru, yaitu deep learning.

Metode ini menekankan pembelajaran yang lebih mendalam, tidak sekadar menghafal fakta, tetapi mengembangkan pemahaman yang bermakna dan kontekstual.

"Sehingga karena itu maka materi pelajaran akan dikurangi," kata Mu'ti di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Jumat (13/4/2025).

Tujuan Utama: Fokus dan Pemahaman Mendalam

Pendekatan deep learning bertujuan agar siswa dapat menyerap ilmu secara lebih fokus dan menyeluruh.

Dengan materi yang lebih sedikit namun padat, diharapkan siswa tidak hanya tahu apa, tapi juga mengapa dan bagaimana suatu hal terjadi. Fokus bukan pada kuantitas, melainkan kualitas pembelajaran.

Pengurangan materi ini menjadi salah satu upaya untuk mendorong siswa berpikir kritis, analitis, dan reflektif. Jika sebelumnya pembelajaran terlalu banyak menuntut hafalan, kini diharapkan siswa bisa benar-benar memahami materi dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata.

"Karena pembelajaran mendalam itu menekankan pembelajaran yang lebih konstruktifis ini teori pelajaran konstruktifis kemudian deep learning proses, proses pembelajaran yang mendalam berpikir tingkat tinggi," ujarnya.

Metode ini sejatinya mengajak peserta didik untuk tidak hanya menerima informasi mentah, melainkan mencerna, mempertanyakan, dan mengaitkannya dengan konteks sosial dan personal mereka.

Esensi dari Belajar: Nilai dan Relevansi

Mu'ti menekankan pentingnya menyisipkan nilai dalam setiap proses pembelajaran. Bukan hanya aspek kognitif yang diutamakan, tetapi juga nilai moral, sosial, dan kemanusiaan.

Dalam konsep ini, ilmu tidak berdiri sendiri, tapi harus memiliki dampak terhadap cara berpikir dan bersikap siswa dalam kehidupan sehari-hari.

"Nilai harus melekat pada semua mata pembelajaran, dan nilai menjadi makna utama dari proses pembelajaran. Oleh karena itu, selain aspek pengetahuan dan kemampuan, Deep Learning juga harus mengedepankan pentingnya nilai," kata Mu'ti dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (14/2/2025).

Menurut Mu’ti, materi pelajaran yang padat dan terlalu banyak justru menjadi penghambat bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman yang bermakna. Maka dari itu, dengan merampingkan kurikulum, siswa diberi ruang untuk menggali lebih dalam setiap materi yang dipelajari.

Tiga Pilar Deep Learning: Mindful, Meaningful, Joyful

Dalam pemaparan konsep ini, Mu’ti memperkenalkan tiga prinsip utama yang menjadi fondasi dari deep learning. Ketiganya adalah: mindful, meaningful, dan joyful.

Mindful merujuk pada kesadaran penuh dalam proses belajar. Guru diharapkan mengedepankan penghormatan terhadap murid sebagai individu yang unik, dengan gaya belajar yang berbeda.

Ruang untuk mengeksplorasi dan menemukan cara belajar yang paling sesuai sangat penting dalam pendekatan ini.

Prinsip kedua adalah meaningful, yakni proses pembelajaran harus bermakna. Siswa diajak untuk menemukan relevansi antara materi yang dipelajari dengan kehidupan mereka.

Hal ini diyakini bisa menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar dan pemahaman yang lebih kuat.

"Dan ketiga, yaitu "joyful" yang memiliki arti penghargaan atas raihan penemuan makna serta segala kegunaannya serta manfaatnya untuk masyarakat," jelas dia.

Dengan joyful learning, pembelajaran diharapkan tidak lagi terasa sebagai beban, tetapi sebagai pengalaman yang menyenangkan dan memotivasi siswa untuk terus belajar.

Masih dalam Tahap Persiapan

Mu’ti mengungkapkan bahwa penerapan deep learning masih dalam proses. Pemerintah tengah menyusun kebijakan, menyiapkan pelatihan guru, serta mendesain ulang kurikulum agar sesuai dengan pendekatan baru ini.

"Ini masih ongoing process (mempersiapkan penerapan Deep Learning)," kata Mu'ti di acara Seminar Nasional dan Sosialisasi Program Deep Learning yang disiarkan secara daring, Senin (17/2/2025).

Bukan hanya guru yang harus siap, tetapi juga sistem pendukung di sekolah, termasuk evaluasi pembelajaran, metode penilaian, hingga peran orang tua dalam mendukung proses belajar anak di rumah.

Terlalu Banyak Perubahan dalam Waktu Singkat

Meski konsep deep learning terdengar menjanjikan, tak sedikit pihak yang mempertanyakan efektivitas kebijakan ini, terutama mengingat seringnya perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia.

Setiap pergantian menteri atau periode pemerintahan, arah kebijakan seringkali berubah drastis. Akibatnya, sekolah, guru, dan murid merasa lelah mengikuti irama kebijakan yang terus berganti.

Dalam lima tahun terakhir saja, sudah lebih dari tiga kali terjadi perubahan signifikan dalam kurikulum. Hal ini membuat guru harus terus beradaptasi, menyusun ulang rencana pembelajaran, dan belajar ulang konsep-konsep baru, yang kadang belum sempat diimplementasikan dengan maksimal.

Perubahan yang terus-menerus ini juga berdampak pada konsistensi pendidikan. Alih-alih membawa perbaikan, perubahan yang terlalu sering justru menciptakan kebingungan dan ketidakpastian.

Sekolah menjadi tempat eksperimen kebijakan yang belum matang secara sistemik.

Pertanyaan-pertanyaan seperti:
Mengapa kurikulum terus berubah-ubah?
Mengapa kurikulum pendidikan selalu mengalami perubahan?
Mengapa kurikulum di Indonesia selalu berkembang dan cenderung berubah?
Kenapa Kurikulum Merdeka selalu berubah?
Faktor apa saja yang menyebabkan perubahan kurikulum?
Berapa kali kurikulum Indonesia mengalami perubahan?

Membuat masyarakat dan terlebih para pelaku pendidikan di dalamnya seolah menjadikan mereka korban atas eksperimen pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah.

Hingga, lahirlah sentimen-sentimen negatif atas dinamika kebijakan pendidikan di nusantara ini. 3 hal atas dampak kebijakan pendidikan yang terus berubah diantaranya adalah.

1. Kebijakan yang Tidak Konsisten Melelahkan Tenaga Pendidik

Guru di lapangan sering menjadi korban dari kebijakan yang berubah-ubah. Setiap tahun ajaran, ada saja instruksi baru yang harus diikuti, modul yang harus diubah, atau pendekatan yang harus diterapkan.

Ketika belum sempat memahami dan menjalankan satu kebijakan, sudah muncul kebijakan baru lainnya. Hal ini bukan hanya menguras waktu dan energi, tapi juga membuat kualitas pembelajaran tidak stabil.

Tenaga pendidik akhirnya lebih banyak berfokus pada penyesuaian administrasi dibanding mendidik secara substansial.

2. Siswa Menjadi Korban Uji Coba Sistem

Siswa, yang seharusnya menjadi pusat dari proses pendidikan, sering kali justru menjadi korban dari sistem yang terlalu sering berganti. Mereka dipaksa menyesuaikan diri dengan metode yang berubah-ubah, tanpa kesempatan untuk membangun ritme belajar yang konsisten.

Alih-alih fokus mendalami ilmu, siswa harus belajar cara-cara baru yang kadang membingungkan dan tidak sesuai dengan kebutuhan atau minat mereka. Ini membuat proses belajar kehilangan kontinuitas.

3. Kurangnya Evaluasi dan Transparansi dalam Setiap Pergeseran Kebijakan

Setiap perubahan kebijakan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh dari implementasi kebijakan sebelumnya. Namun, hal ini jarang dilakukan secara terbuka.

Masyarakat dan praktisi pendidikan sering kali tidak dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan maupun peninjauan kebijakan. Alhasil, banyak kebijakan terasa top-down dan tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan.

Kurangnya transparansi dan partisipasi ini membuat publik skeptis terhadap arah pendidikan nasional.

Lebih baru Lebih lama
Cek berita dan artikel menarik lainnya lebih cepat melalui saluran WhatsApp
Support kami dengan SHARE tulisan ini dan traktir kami kopi disini.

Formulir Kontak