Trending

Mendikdasmen: Wisuda Sekolah Boleh, Asalkan...

Berbeda dengan Dedi Mulyadi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Membolehkan Acara Wisuda Sekolah
antaranews.com

niadi.net — Polemik mengenai pelaksanaan wisuda di jenjang pendidikan dasar dan menengah kembali mencuat ke permukaan setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara tegas menyatakan pelarangan kegiatan tersebut.

Pernyataan Dedi langsung menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama setelah perdebatan terbuka dirinya dengan seorang siswa SMA yang merasa kehilangan momen penting dalam hidupnya akibat kebijakan itu.

Namun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengambil posisi berbeda. Ia menilai pelaksanaan wisuda tetap bisa dijalankan selama tidak menimbulkan beban finansial bagi orang tua murid.

Baginya, selama ada persetujuan antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa, maka tidak ada alasan untuk melarang kegiatan wisuda.

Bukan Sekadar Seremoni

Menurut Abdul Mu’ti, wisuda bukan hanya sekadar seremonial belaka. Ia memandangnya sebagai bentuk perayaan dan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan siswa menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu.

Kegiatan ini juga bisa menjadi momentum mempererat hubungan antara sekolah dan orang tua murid.

"Kalau menurut saya begini, sepanjang itu tidak memberatkan dan atas persetujuan orang tua dan murid, ya masa sih tidak boleh gitu kan. Yang penting wisuda itu jangan berlebih-lebihan dan juga jangan dipaksakan," kata Mu’ti dalam kesempatan berbeda di Kota Depok, Jawa Barat usai pembukaan Konsolidasi Nasional (Konsolnas) Dikdasmen 2025.

Pendapat Mu’ti menunjukkan adanya ruang fleksibilitas dalam sistem pendidikan, di mana sekolah bisa mengambil keputusan berdasarkan situasi di lapangan, termasuk kondisi sosial ekonomi orang tua murid.

Perspektif Ekonomi: Beban atau Pilihan?

Gubernur Dedi Mulyadi, dalam pernyataannya, fokus pada sisi ekonomi dari kegiatan wisuda. Ia menilai bahwa banyak keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah merasa terbebani oleh biaya wisuda yang kerap kali tidak sedikit.

Dedi bahkan mengklaim bahwa banyak masyarakat menyambut baik pelarangan ini karena meringankan beban finansial mereka. "Bagi keluarga miskin, uang untuk wisuda lebih baik digunakan untuk kebutuhan pokok atau persiapan jenjang pendidikan selanjutnya," ujarnya.

Dedi ingin agar pendidikan kembali pada fungsinya: mendidik dan mencerdaskan. Ia tidak ingin sekolah menjadi ajang konsumtif yang membebani murid maupun orang tua.

Namun, perlu juga dilihat bahwa tidak semua pelaksanaan wisuda memerlukan biaya besar. Beberapa sekolah dan komunitas orang tua murid mampu menyelenggarakannya dengan sederhana, bahkan gotong royong, tanpa perlu menyewa gedung mewah atau menyusun acara berbiaya tinggi. Dalam konteks ini, wisuda tidak selalu menjadi simbol pemborosan.

Dimensi Sosial dan Psikologis

Di luar urusan biaya, wisuda juga memiliki nilai psikologis yang tinggi bagi siswa. Bagi banyak siswa, terutama yang lulus dari jenjang SD atau SMP, wisuda menjadi momen emosional yang menyimpan kenangan penting. Ini bukan sekadar ritual, tapi simbol transisi—dari masa anak-anak menuju tahap yang lebih dewasa.

Siswa yang menantikan acara perpisahan atau wisuda merasa kegiatan ini menandai pencapaian dan sekaligus memberikan penghargaan atas usaha mereka selama bertahun-tahun bersekolah.

Di sisi lain, orang tua yang jarang atau bahkan tidak pernah hadir di sekolah anaknya juga mendapatkan kesempatan untuk terlibat langsung dalam momen spesial tersebut.

Seorang guru dari Bekasi yang tak ingin disebutkan namanya menuturkan, "Banyak orang tua justru pertama kali datang ke sekolah anaknya itu saat wisuda. Momen itu menyentuh sekali. Ada yang menangis haru. Jadi bukan sekadar seremoni."

Harus Ada Regulasi yang Jelas?

Dengan dua pendapat yang berbeda dari tokoh publik ini, muncul pertanyaan besar: perlukah ada regulasi nasional mengenai wisuda sekolah?

Jika sepenuhnya diserahkan ke sekolah, potensi komersialisasi bisa tetap terjadi. Tapi jika dilarang total, bisa jadi banyak siswa kehilangan pengalaman sosial penting dalam hidup mereka.

Di sinilah pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi membuat panduan yang adil: mengakomodasi kebahagiaan siswa, tanpa mengorbankan kondisi ekonomi keluarga.

Beberapa opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan antara lain:
  • Memberi batasan biaya maksimal untuk kegiatan wisuda
  • Menetapkan format acara yang lebih sederhana dan inklusif
  • Mendorong partisipasi gotong royong orang tua dan komite sekolah
  • Menyediakan bantuan dana atau sponsor untuk siswa dari keluarga tidak mampu

Pendidikan yang Manusiawi

Dalam esensinya, pendidikan adalah proses yang tidak hanya berfokus pada pengetahuan, tapi juga pembentukan karakter, empati, dan penghargaan terhadap proses.

Wisuda, bila dimaknai secara positif, bisa menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri. Ia bisa mengajarkan anak tentang pentingnya pencapaian, kerjasama, dan rasa syukur.

Namun, jika terlalu dibebani dengan tuntutan biaya tinggi, maka nilai-nilai pendidikan itu justru akan luntur, tergantikan oleh tekanan sosial dan ekonomi.

Karena itu, semua pihak—sekolah, pemerintah, dan masyarakat—perlu duduk bersama, melihat wisuda bukan sebagai ajang pamer atau beban, tapi sebagai bentuk apresiasi yang tetap memanusiakan siswa dan orang tua mereka.

Wisuda sekolah masih menjadi perdebatan hangat. Apakah ia simbol kebanggaan atau beban? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita mengelolanya. Jika diselenggarakan dengan bijak dan penuh empati, wisuda bisa menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Namun, jika dijadikan komoditas, ia akan kehilangan makna.

Daripada memperdebatkan boleh atau tidaknya, mungkin sudah saatnya kita bertanya: bagaimana seharusnya kita merayakan keberhasilan anak-anak kita tanpa menambah beban hidup mereka?

Lebih baru Lebih lama
Cek tulisan lainnya lebih cepat melalui saluran WhatsApp
Support kami dengan SHARE tulisan ini dan traktir kami KOPI.

Formulir Kontak