
niadi.net — Kekhawatiran terhadap masa depan ekonomi Indonesia sedang meningkat, terutama di kalangan orang-orang superkaya. Mereka tidak hanya berspekulasi atau duduk diam menunggu arah angin ekonomi berubah. Mereka bertindak —dan salah satu langkah besar yang kini jadi sorotan adalah mengalirnya dana dalam jumlah besar ke luar negeri.
Bukan hanya satu atau dua orang. Menurut laporan Bloomberg yang terbit 11 April 2025, gelombang pemindahan dana ini melibatkan ratusan juta dolar AS. Tujuannya? Menjaga nilai kekayaan dari potensi risiko ekonomi domestik, dan memanfaatkan celah-celah yang masih ada di sistem keuangan global.
Ketakutan yang Mendorong Eksodus Dana
Sumber ketakutan ini bukan tanpa alasan. Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden pada Oktober 2024, ada sejumlah kebijakan yang memicu keresahan pelaku pasar dan investor besar.
Mulai dari peningkatan belanja negara, dorongan besar-besaran untuk pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, hingga sinyal dominasi militer dalam struktur pemerintahan.
Dampaknya terasa cepat. Nilai tukar rupiah sempat merosot tajam hingga Rp17.000,-/1USD pada awal April 2025 ketika tulisan ini dibuat. Investor dalam dan luar negeri langsung bereaksi.
Bagi masyarakat biasa, ini mungkin terasa lewat naiknya harga barang impor. Tapi bagi para miliuner, ini adalah sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan.
Menurut Bloomberg, belasan manajer kekayaan, bankir swasta, dan penasihat keuangan yang diwawancarai mengungkapkan bahwa klien-klien mereka mulai mengganti portofolio secara besar-besaran. Emas, properti di luar negeri, dan mata uang kripto—khususnya stablecoin seperti USDT—jadi tujuan utama.
Kripto Jadi Jalur Baru "Kabur dari Risiko"
USDT, stablecoin keluaran Tether Holdings SA yang dirancang untuk selalu setara dengan dolar AS, jadi primadona baru.
Bagi orang-orang kaya Indonesia, ini bukan soal untung rugi investasi. Ini soal fleksibilitas, kecepatan, dan yang paling penting—anonimitas.
"Saya makin sering membeli USDT dalam beberapa bulan terakhir," kata salah satu mantan eksekutif perusahaan besar di Indonesia yang identitasnya dirahasiakan.
"Kalau ada apa-apa, saya bisa memindahkan dana dalam hitungan menit ke luar negeri, tanpa harus membawa koper uang atau lewat sistem perbankan yang rumit."
Pemanfaatan kripto ini bahkan disebut-sebut mulai menggantikan peran Singapura sebagai tempat "parkir uang". Negara kota itu sebelumnya jadi tujuan utama dana-dana dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tapi setelah serangkaian skandal pencucian uang, aturan di sana semakin ketat. Akibatnya, para pemilik dana besar mencari alternatif lain yang lebih longgar—dan mata uang kripto menyediakan jalan pintas.
Timur Tengah: Surga Baru Penyimpan Kekayaan
Bukan hanya soal aset digital. Fisik pun ikut pindah. Sejak awal 2025, puluhan juta dolar AS disebut telah mengalir ke pasar properti Dubai dan Abu Dhabi.
Caranya pun kreatif. Properti dibeli atas nama anggota keluarga, teman dekat, atau bahkan lewat perusahaan cangkang yang didirikan di wilayah tersebut.
Beberapa individu kaya bahkan mengajukan visa kerja di Uni Emirat Arab untuk mendapatkan akses hukum mendirikan perusahaan. Lewat entitas itulah, transaksi-transaksi besar dilakukan.
"Dulu Dubai hanya dikenal karena glamor dan gedung pencakar langit," kata seorang penasihat keuangan di Jakarta. "Sekarang, itu juga tempat orang menyembunyikan aset dengan legal."
Faktor pendorong lainnya adalah ketatnya pengawasan perbankan di Asia. Di Indonesia, meskipun tidak ada kontrol modal seperti di China, transfer dana dalam jumlah besar tetap bisa mengundang perhatian otoritas.
Transfer lebih dari 100 ribu dolar AS, misalnya, masuk dalam pengawasan PPATK untuk menghindari praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kekuatan Pasangan: USDT dan Rupiah
Di dalam negeri, pasar kripto juga mengalami lonjakan aktivitas. Tokocrypto, salah satu bursa kripto terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh Binance, mencatat bahwa volume transaksi untuk pasangan USDT/IDR kini mencapai lebih dari 25 persen dari total transaksi harian mereka.
Menurut Wan Iqbal, Chief Marketing Officer Tokocrypto, peningkatan ini menunjukkan bahwa stablecoin sudah menjadi pilihan utama untuk lindung nilai terhadap risiko makroekonomi. Ketika rupiah melemah, USDT menawarkan keamanan dan kestabilan dalam bentuk digital.
Ancaman Bagi Stabilitas Domestik?
Pertanyaannya sekarang: apakah ini akan berakhir seperti krisis 1998, ketika dana besar-besaran keluar dari Indonesia dan menyebabkan kehancuran sistem keuangan?
Belum tentu. Tapi tanda-tandanya mulai terlihat. Jika eksodus aset ini terus terjadi, dampaknya bukan cuma pada nilai tukar. Investasi domestik bisa melambat. Perbankan kehilangan dana murah. Pasar properti bisa stagnan. Pemerintah akan kesulitan membiayai program besar jika pembelian surat utang negara menurun.
Analis dari lembaga konsultan Global Counsel LLP, Dedi Dinarto, menyebut situasi ini masih bisa dikendalikan. "Asalkan Presiden Prabowo mau menyampaikan komitmen yang jelas dan konsisten soal disiplin fiskal," katanya.
Namun, sejauh ini, sinyal itu belum terlihat kuat. Investor masih meraba-raba arah kebijakan. Dan sementara ketidakpastian itu belum hilang, gelombang pemindahan dana kemungkinan akan terus berjalan.
Lebih dari Sekadar Angka
Yang sedang terjadi bukan cuma soal data dan statistik. Ini tentang kepercayaan. Orang-orang dengan kekayaan ratusan juta dolar tidak akan ambil risiko hanya karena tren sesaat.
Mereka punya akses ke informasi, penasihat terbaik, dan koneksi global. Ketika mereka mulai bertindak, itu biasanya karena mereka melihat sesuatu yang lebih besar sedang datang.
Pemindahan uang ke luar negeri dalam skala ini bukan hanya bentuk pertahanan aset. Ini juga sebuah peringatan: bahwa ekonomi Indonesia saat ini sedang berada dalam fase kritis, dan kepercayaan kelas atas terhadap stabilitas sistem mulai rapuh.
Menanti Reaksi Pemerintah
Yang dibutuhkan sekarang adalah respons cepat dan meyakinkan dari pemerintah. Ketegasan dalam arah kebijakan fiskal, kepastian hukum bagi investor, dan transparansi dalam penggunaan anggaran negara bisa mengembalikan sebagian kepercayaan yang hilang.
Tanpa itu, arus dana keluar bisa berubah menjadi arus deras. Dan ketika kepercayaan orang-orang terkaya di negeri ini benar-benar hilang, yang akan terdampak bukan hanya mereka—tapi seluruh sendi ekonomi nasional.