
niadi.net — Mantan Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik bukan karena 'kebijakan' atau pencapaiannya, melainkan karena kontroversi lama yang terus menyeret namanya: tuduhan ijazah palsu. Kali ini, ia memberikan tanggapan tegas di Solo, menegaskan bahwa dirinya benar-benar lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pernyataan itu ia sampaikan secara langsung di hadapan media, tepatnya saat berada di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Jumat, 11 April 2025. Jokowi menyampaikan bahwa ia telah menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kehutanan UGM, dan seluruh dokumen kelulusan yang dimilikinya sah serta dikeluarkan oleh pihak universitas.
"Iya, dipertimbangkan untuk dikaji lebih dalam oleh pengacara karena memang sudah disampaikan oleh Rektor UGM dan sudah disampaikan yang terakhir oleh Dekan Fakultas Kehutanan yang sudah jelas semuanya," kata Jokowi menanggapi tuduhan yang terus mengemuka.
Kontroversi ini sebenarnya bukan hal baru. Isu mengenai dugaan ijazah palsu sudah pernah dibawa ke jalur hukum, dan gugatan terhadap Jokowi telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meskipun demikian, perdebatan seputar keaslian ijazahnya masih terus bergulir, terutama di kalangan masyarakat yang aktif di media sosial.
Dalam pernyataan lanjutannya, Jokowi mengatakan bahwa dirinya ingin membuktikan bahwa ia benar-benar pernah menjalani kuliah di Fakultas Kehutanan UGM. "Ya kita ingin menunjukkan bahwa betul-betul kita ini kuliah di Fakultas Kehutanan," ucapnya lugas.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa semua dokumen akademik telah dikonfirmasi secara terbuka oleh pihak universitas, mulai dari rektor hingga dekan. Pernyataan ini seolah ingin mengakhiri perdebatan yang dianggapnya tidak produktif dan mengganggu.
"Betul-betul ijazahnya dikeluarkan oleh Universitas Gadjah Mada dan sudah disampaikan tidak hanya sekali oleh rektor, oleh dekan sudah disampaikan sudah dibuka seperti itu," ungkapnya.
Namun, bukan hanya soal dokumen resmi. Jokowi juga menyindir pihak-pihak yang masih mempermasalahkan hal-hal teknis seperti ejaan nama, nomor ijazah, dan detail kecil lainnya. Ia menyebut bahwa apabila sudah sampai pada hal-hal kecil semacam itu, maka tudingan ini bukan lagi rasional tapi sudah menjadi niat menyerang pribadi.
"Tapi kalau masih urusan huruf lah, urusan nanti urusan angka, urusan wah kalau begitu sudah," tuturnya dengan nada geram.
Dalam pandangannya, beban pembuktian sepenuhnya ada pada pihak penuduh. Jokowi menegaskan bahwa mereka yang melontarkan tuduhan harus pula siap menyajikan bukti yang kuat dan sahih.
"Dan yang paling penting siapa yang mendalilkan itu dia yang membuktikan. Siapa yang menuduh dia yang juga harus membuktikan," ujarnya menutup pernyataan.
Ketegangan yang Tak Mereda
Kasus ini menciptakan kegaduhan yang lebih besar karena menyangkut kredibilitas seorang kepala negara. Ketika seorang mantan presiden dituduh memalsukan ijazah, maka ini bukan sekadar isu pribadi, melainkan mencederai integritas institusi tertinggi di pemerintahan.
Meskipun Jokowi telah menyampaikan klarifikasi berulang kali, masih banyak yang merasa belum puas dengan penjelasan yang ada.
Polemik ini bahkan menyeret banyak kalangan, dari akademisi, aktivis hukum, hingga masyarakat sipil. Banyak yang menganggap bahwa jika tuduhan ini dibiarkan terus menggantung tanpa penyelesaian tuntas dan transparan, maka yang dikorbankan adalah kepercayaan publik terhadap negara dan sistem pendidikan nasional.
Sayangnya, klarifikasi dari UGM dan pemerintah belum berhasil sepenuhnya menenangkan opini publik. Banyak pihak justru bertanya-tanya, mengapa kasus ini tak diselesaikan melalui pembuktian terbuka di depan umum? Mengapa tidak dibuka arsip lengkap kuliah, skripsi, dan data administrasi pendidikan dari masa kuliah Jokowi secara menyeluruh?
Kritik atas Polemik Ijazah Palsu Jokowi
1. Transparansi yang Setengah Hati
Kritik pertama yang sangat tajam datang dari aspek keterbukaan informasi. Jika benar ijazah Jokowi asli, mengapa pembuktian tidak dilakukan secara tuntas dan terbuka di ruang publik?
Publik hanya diberikan potongan-potongan pernyataan dari pejabat universitas dan pemerintah, tanpa disertai bukti-bukti visual atau administratif yang bisa diverifikasi secara independen.
Ketika kasus ini sudah menyentuh kepentingan publik, maka transparansi tidak bisa lagi bersifat selektif. Pemerintah dan UGM seharusnya merilis data dan dokumen akademik yang lengkap secara resmi, bukan hanya melalui konferensi pers.
2. Upaya Mengalihkan Fokus Isu
Alih-alih menyelesaikan pokok persoalan secara substansial, pernyataan-pernyataan dari Jokowi dan pejabat serta para pendukungnya terkait justru seringkali bernada defensif dan menyudutkan pihak penuduh. Padahal, dalam iklim demokrasi, publik berhak mempertanyakan keabsahan dokumen pejabat negara.
Tuduhan dijawab dengan sindiran soal "urusan huruf" atau "angka", yang justru menambah kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Strategi ini tampak seperti bentuk pengalihan isu daripada klarifikasi nyata.
3. Preseden Buruk bagi Etika Kepemimpinan
Jika tuduhan ijazah palsu ini tidak ditanggapi secara serius dan terbuka, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi etika kepemimpinan di Indonesia.
Seorang (mantan) kepala negara seharusnya menjadi teladan dalam menunjukkan integritas akademik dan administratif. Jika keaslian ijazah saja tidak bisa diverifikasi secara jelas, bagaimana publik bisa percaya pada kebijakan-kebijakan strategis yang (telah) dibuat oleh pemerintah? Bahkan jika tuduhan itu tidak benar, cara meresponsnya yang minim transparansi justru memperkuat kecurigaan.