
niadi.net — Negosiasi Tarik Ulur di Negeri Paman Sam. Pemerintah Indonesia tengah berjibaku dengan waktu. Tim negosiator ekonomi dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu berada di Amerika Serikat untuk menyelamatkan ekspor nasional yang tengah dihantam tarif tinggi.
Mereka berhadapan langsung dengan pejabat dagang AS, mencoba menurunkan bea masuk yang melonjak hingga hampir 50% untuk produk-produk unggulan Indonesia.
Penyebabnya adalah kebijakan tarif baru dari pemerintah AS yang diberlakukan belum lama ini. Di bawah kebijakan ini, barang-barang dari Indonesia seperti pakaian jadi, sepatu, tekstil, furnitur, hingga hasil laut seperti udang dikenakan tarif tambahan sebesar 10%, menjadikan total tarif mencapai 47%. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand.
Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia bisa kehilangan daya saing di pasar Amerika — salah satu pasar ekspor terbesar yang selama ini menopang banyak sektor industri dalam negeri.
AS Naikkan Tarif, Indonesia Tak Diam
Kenaikan tarif yang dilakukan oleh AS sejatinya bukan hal baru. Pemerintahan Presiden Donald Trump dulu pernah menerapkan kebijakan serupa, dan kini semangat proteksionisme itu kembali mencuat. Bedanya, kali ini Indonesia bergerak cepat.
Delegasi ekonomi Indonesia langsung dikirim ke Washington DC untuk membuka jalur dialog. Mereka terdiri dari jajaran elite seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono, serta Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu.
Dalam pernyataan resminya dari Washington, delegasi Indonesia mengumumkan bahwa kedua pihak telah sepakat untuk menyelesaikan perundingan dalam jangka waktu 60 hari.
Kerangka kerja dan format negosiasi telah disepakati, artinya kedua negara setuju pada cara dan arah diskusi. Langkah ini menjadi awal penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dalam hubungan dagang kedua negara.
Apa yang Ditawarkan Indonesia?
Indonesia tidak datang dengan tangan kosong. Untuk bisa menurunkan tarif ekspor yang sudah terlanjur tinggi, tim negosiator menyodorkan proposal komprehensif yang berisi sejumlah poin strategis.
Isinya mencerminkan niat baik untuk menciptakan hubungan dagang yang saling menguntungkan, bukan hanya menyelamatkan posisi ekspor Indonesia.
Berikut enam poin utama dari proposal tersebut:
1. Menambah Impor Energi dari AS
Indonesia menawarkan peningkatan pembelian sumber energi dari AS, terutama dalam bentuk LNG (gas alam cair) dan sweet crude oil (minyak mentah ringan). Ini akan membantu neraca dagang AS sekaligus memperkuat ketahanan energi Indonesia.2. Komitmen Pembelian Produk Pertanian
Termasuk gandum, yang selama ini menjadi kebutuhan besar di Indonesia. Komitmen ini ditujukan untuk memperkuat hubungan dagang di sektor pangan.3. Meningkatkan Impor Barang Modal dan Hortikultura
Barang modal penting untuk industri, sementara produk hortikultura AS berpeluang masuk pasar Indonesia jika diberi akses yang jelas dan adil.4. Dukungan terhadap Investasi AS di Indonesia
Pemerintah siap memberikan kemudahan perizinan dan insentif bagi perusahaan-perusahaan AS yang ingin berinvestasi, terutama di sektor-sektor strategis.5. Kerja Sama Mineral Kritis
Indonesia menawarkan kemitraan dalam pengelolaan dan pengolahan mineral penting seperti nikel, tembaga, dan kobalt — bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik.6. Kolaborasi SDM dan Pendidikan
Termasuk pengembangan talenta di bidang teknologi, ekonomi digital, STEM, serta sektor keuangan.Proposal ini tidak hanya bersifat reaktif, tapi juga proaktif. Pemerintah ingin membuktikan bahwa hubungan dagang yang sehat tidak sekadar soal angka ekspor-impor, tetapi juga tentang pembangunan jangka panjang dan kerja sama dua arah yang setara.
Mengapa 60 Hari Penting?
Waktu 60 hari bukan sekadar tenggat. Ini adalah batas waktu kritis. Jika dalam dua bulan ini tak ada kesepakatan konkret, eksportir Indonesia akan terus merugi karena tarif tinggi membuat produk kita kalah saing di rak-rak toko Amerika.
Lebih buruk lagi, pesanan bisa dialihkan ke negara lain seperti Vietnam atau Bangladesh yang punya tarif lebih rendah.
Beberapa perusahaan bahkan sudah mulai merasakan dampaknya. Ada pembeli dari AS yang meminta renegosiasi harga, bahkan ada yang menunda kontrak. Ini alarm keras bahwa tindakan harus diambil sekarang, bukan nanti.
Respons Cepat yang Tak Biasa
Dalam lanskap diplomasi perdagangan global, Indonesia termasuk negara yang bergerak cepat. Sebelum ini, negara-negara lain seperti Jepang, Italia, dan Vietnam juga terkena dampak tarif AS, namun belum semua merespons secepat Indonesia.
Delegasi dari Jakarta menjadi salah satu yang pertama datang langsung ke Washington membawa agenda yang jelas dan pendekatan yang bersahabat tapi tegas.
Langkah ini patut diapresiasi. Ketika negara lain masih mengkaji dampak dan menyusun strategi, Indonesia sudah mengeksekusi. Ini sinyal bahwa pemerintahan baru tidak ingin berlama-lama dalam diplomasi pasif.
Apa Dampaknya bagi Kita di Dalam Negeri?
Jika negosiasi ini berhasil, dampaknya bisa terasa di berbagai lapisan. Industri garmen, sepatu, dan furnitur — yang banyak menyerap tenaga kerja — bisa kembali stabil. Ribuan pelaku usaha kecil menengah yang masuk dalam rantai pasok juga akan terbantu.
Nilai ekspor Indonesia ke AS selama ini menyumbang triliunan rupiah ke devisa negara. Menjaga akses itu sama artinya dengan menjaga perekonomian nasional.
Namun jika gagal, risiko terburuknya adalah penutupan pabrik, pemutusan hubungan kerja massal, dan tergerusnya pasar luar negeri yang selama ini menjadi tumpuan. Maka dari itu, 60 hari ke depan sangat menentukan arah ekonomi Indonesia ke depan.
Bukan Sekadar Tarif, Tapi Nasib Ekspor
Tarif impor bukan sekadar angka di atas kertas. Bagi banyak pelaku usaha di Indonesia, itu adalah soal kelangsungan bisnis dan pekerjaan. Pemerintah saat ini tengah berjudi dalam waktu 60 hari untuk memulihkan akses pasar yang kini terancam.
Tentu saja, tak semua tergantung dari pihak Indonesia. AS juga harus menunjukkan sikap yang terbuka terhadap proposal kerja sama yang ditawarkan.
Namun satu hal pasti: Indonesia telah menunjukkan bahwa dalam era global yang penuh ketidakpastian ini, hanya negara yang bergerak cepat dan cerdas yang bisa bertahan dan menang.